Selepas Kau Pergi I

 Tak terasa tiga tahun telah berlalu, sejak peristiwa kelam yang membuat batinku terkoyak yang seakan membuat semangat dalam hidupku hampir sirna. Peristiwa yang membuatku kehilangan

sosok penyemangat dalam hidup yang sangat berarti bagiku.

Kisahku berawal semasa aku masih anak-anak, saat aku menjalin persahabatan dengan gadis yang baik hati serta cantik parasnya. Namanya Aulia Hikmah Ramadhani biasa ku panggil Aulia. Gadis kelahiran Soppeng 1 Desember 1994 itu, telah berhasil membuatku mengerti memahami arti persahabatan yang sesungguhnya. Dia mampu membuat hari-hariku jadi lebih berwarna dan tak bias dipungkiri dia mampu mengukir senyum diwajahku setiap harinya.

  Saat tamat di bangku sekolah dasar ,aku dan Aulia harus berpisah karena orang tua Aulia harus pindah tugas ke Soppeng, terpaksa dia harus melanjutkan sekolah di Soppeng. Namun itu bukan masalah bagi kami, walaupun terpisah oleh jarak yang cukup jauh, tapi komunikasi tetap berjalan dengan lancar, bahkan setiap akhir pekan kami bergantian pergi berkunjung.

  Namun sejak kami duduk di kelas 8 SMP, entah mengapa persahabatan kami mulai agak renggan. Aku tak tahu apa sebabnya, dia seperti menghindar dariku. Setiap aku hubungi baik melalui SMS atau telpon, dia tak pernah merespondnya. Tapi aku tak akan menyerah hanya karena hal seperti itu.

   Melihat sikap Aulia yang seperti itu, hatiku  rasanya tak tenang, akhirnya ku putuskan untuk menemui Aulia langsung dan menanyakan apa sebenarnya yang terjadi kenapa dia selalu menghindar dariku. Dan kebetulan hari ini tanggal 28 Maret, hari ulang tahunku, jadi aku bermaksud merayakannya dengan pesta kembang api bersama Aulia.

  Walaupun sedikit kurang enak badan, hari itu aku berangkat ke Soppeng dengan hanya berbekal sekotak kembang api dan beberapa kotak kue yang ku buat sendiri bersama ibu.

  Sesampainya di sana…………………………………………………….

Bukan kebahagian yang ku dapat, malah sebuah realita yang sukar untuk ku percaya……………ku dapati bendera putih yang tertancap di halaman rumah Aulia. Entah apa yang ku pikirkan saat itu, aku tak tahu lagi…………………batinku seakan berkecamuk, tak percaya dengan apa yang kulihat di hadapanku.

  Dalam keadaan setengah sadar, aku langsung berlari masuk ke dalam,menerobos sekumpulan orang-orang yang ada di halaman rumah Aulia saat itu, sekotak kembang api yang ada di tangan telah jatuh berhamburan.

  Sesampainya di dalam, ku dapati tubuh Aulia yang tergeletak tak berdaya, wajah yang dulu penuh keceriaan yang tak pernah lepas dari senyum yang selalu menghiasi wajahnya, sekarang menjadi pucat pasih diam membisu, namun senyum itu tetap ada. Dia begitu damai……tanpa sadar hatiku menjerit “ oh Tuhan…………….inikah hadiah ulang tahunku???? Aku tak sanggup menerimanya Tuhan…..!!!!!!!!!sebagai gantinya, ambil saja aku Tuhan………….jangan dia!!! Dia terlalu baik, dia terlalu berharga untukku!!!!”

  Sungguh………………aku tak mampu menerima kenyataan itu, entah dapat kekuatan dari mana, aku langsung memeluk tubuh Aulia yang tergeletak di hadapanku. Aku tak mampu lagi menahan perasaanku, aku menangis meluapkan semua kepedihanku hingga dada ini terasa sesak.

  Saat aku terjebak dalam perasaanku, tiba-tiba sebuah tangan menghapus air mata yang telah membasahi wajahku. Tangan itu, tangan tante Yuli, ibu Aulia yang juga terpuruk dalam duka yang sama denganku. Bagaimana tidak, anak semata wayangnya yang sangat dia sayangi telah di panggil oleh yang maha kuasa.

  Setelah acara pemakaman selesai, tante Yuli menceritakan semuanya padaku. Ternyata Aulia meninggal karena penyakit kanker otak yang dideritanya. Dia tidak pernah membalas smsku atau menerima telponku karena saat itu dia sedang koma di rumah sakit. Jujur aku merasa kecewa saat mengetahui semua hal itu. Aku kecewa karena orang yang ku anggap saudara tidak pernah memberitahuku tentang penderitaan yang selama ini ia rasakan sendiri. Sebagai sahabat, aku juga ingin mendampingi saudaraku melewati kesusahannya. Bukan hanya waktu dia bahagia. Namun tante Yuli menjelaskan padaku, bahwa Aulia sengaja merahasiakan semua itu padaku hanya karena dia tidak ingin melihatku larut dalam kesedihan.

………………………………………………………………………………………………saat pulang dari Soppeng, aku terus memikirkan Aulia, hingga aku lupa kehidupanku sendiri. Aku juga mulai sakit-sakitan. Hingga akhirnya ku putuskan untuk berhenti sekolah dan tinggal di rumah mengurung diri.

  Tepat satu tahun Aulia pergi meninggalkanku, pada tanggal yang sama, hari ulang tahunku……aku berangkat ke Soppeng untuk mengunjungi makam Aulia. Di sana ku sempatkan diriku bermalam di rumah tante Yuli, mengenang semua kenangan indah bersama saudaraku yang pernah kami lalui. Di sana aku sempat mengunjungi taman kecil yang menjadi tempat bermain kami. Di sana masih berdiri kokoh pohon yang aku tanam bersama Aulia saat kami masih berada di sekolah dasar.

  Karena ku merasa sudah cukup puas, aku kuputuskan untuk pulang. Dan tanpa sepengetahuanku, ternyata orang tuaku telah mendaftarkanku di salah satu pesantren yang cukup terkenal kedisiplinannya. Walaupun dalam hati ada rasa terpaksa………….. namun. aku tak ingin mengecewakan kedua orang tuaku yang telah begitu baik padaku. Aku tahu mereka juga bersedih melihat tingkahku yang seperti itu. Akhirnya, ku setuju melanjutkan sekolahku kembali.

  Disana, aku mendapat banyak teman baru, namun sampai sekarang belum ada yang mampu menggantikan posisi Aulia bagiku.

  Setelah tamat di pesantren, aku melanjutkan sekolahku di salah satu sekolah yang cukup terkemuka, dan disana aku menempati kelas yang bisa disebut kelas khusus.

  Saat hari pertama di kelas baruku………………..entah apa yang terjadi saat itu, seseorang yang tak ku kenal dengan ramah dan penuh senyum mengajak teman sebangkuku berkenalan.

  Saat mendengar suara itu, aku merasa suara itu tak asing di telingaku…….suara itu yang selalu menghiburku dan menyanyikan alunan melodi yang menghibur hatiku saat ku bersedih. Suara yang telah lama tak terngiang di telingaku.

  Walaupun ku tak percaya, ku beranikan diri berbalik ke belakang. Dan ya Allah……………………sungguh,……………aku tak mampu mempercayai apa yang kulihat.

  Sahabat yang sering melantunkan alunan melodi indah yang menyejukkan hati seakan hidup kembali.

Dalam hatiku timbul berjuta tanya. Apa maksud dari semua ini???mengapa aku menemukanmu pada diri dua orang yang tak kukenal??? Inikah maksud dari janjimu yang mengatakan bahwa kau tidak akan pernah meninggalkanku??? Tapi mengapa harus seperti ini??? Haruskah aku bahagia melihatmu hidup kembali??? Tapi jujur, aku tak sanggup melihatmu hidup tapi tak mengenalku sebagai saudaramu!!!!

THE END

Anganku serasa melayang

Untaian kata tak mampu

 Lagi terucap

Irama derap langkah kaki,tak mampu lagi terdengar

Alunan melodi yang begitu indah telah sumbang

Hilanglah sudah harapan untuk hidup

Indah masa lalu,hanya tinggal

Kenangan yang membekas di hati

Masa indah tentang persahabatan

Antara dua insan

Hancur sudah tersapu derasnya ombak

Rasa duka dan kehilangan

Akan figur penyemangat dalam hidup

Membuat api semangat telah padam

Dan aku tak pernah tahu

Adakah keadilan untukku???

Namun itulah hidupku……….

Itulah takdir yang harus aku jalani

Selepas Kau Pergi II

 Malam begitu sunyi rasanya, langit juga Nampak muram tanpa bintang yang senang tiasa menemaninya. Hanya bulan yang begitu cerah dengan setia menampakkan pesonanya.

Aku tak tahu, apakah malam ini akan turun hujan, atau memang suasana yang sudah larut hingga sang bintang tak lagi bercengkrama di langit yang tertutupi awan?. Ah ………..sudahlah Untuk apa aku memikirkan hal itu yang terpenting saat ini aku bisa melalui malam ini bersama semua teman – teman yang lain.

Memang dalam benakku ada rasa lelah yang begitu besar yang menggoda untuk merebahkan punggung ku sejenak, mungkin akibat dari haiking tadi siang yang sangat menguras tenaga, tapi ku hempaskan niat itu jauh – jauh. Maklum, aku tak ingin ketinggalan acara malam ini dan acara ramah tamah inilah yang sudah ku tunggu – tunggu. Karena perkemahan kali ini begitu baru dan berbeda bagiku dari biasanya, di samping karena lokasi yang dipilih adalah alam bebas sehingga kami benar – benar bisa menyatu dengan alam dan di sini juga, kami bukan lagi membawakan nama sekolah, tapi nama pribadi yang datang dari berbagai kota jadi secara tidak langsung begitu banyak wajah-wajah baru yang asing bagiku. Yang ku kenal dari peserta perkemahan ini hanya beberapa orang saja…………………..

Keinginan yang kuat untuk mengikuti acara ramah tamah, nampaknya telah terkalahkan oleh rasa kantuk yang sejak tadi terus membayangi. Setelah usai giliranku memperkenalkan diri dan memberi satu persembahan, akhirnya dengan beralaskan tanah dan beratapkan langit, ku putuskan untuk merebahkan punggung ini sejenak di dekat api unggun yang telah menyala sejak tadi. Dalam pandanganku Nampak sang bulan tengah asyik bercengkrama dengan bintang kecil yang bersinar terang tanpa teman yang menemani, angankupun terbang melambung tinggi mengenang masa indah bersama sahabat kecil yang telah lama pergi  yang hampir terlupakan olehku.

Entah apa yang terjadi padaku malam itu, aku serasa hidup kembali di masa lalu yang sudah sejak lama ku berusaha mengubur dalam – dalam semua kenangan itu.

“ hai……………..” ucap seseorang yang asing bagiku dan membuyarkan ayal dalam anganku.

“ hai juga…………..” dengan sedikit rasa penasaran, ku jawab sapaannya dengan senyum yang tak bisa hilang dari wajahku.

“  aku boleh duduk di sini nggak?” tanyanya memulai perbincangan yang tak ku inginkan.

“ silahkan” jawabku dengan wajah yang sedikit cuek.

“ kamu kok nggak gabung? Memangnya kamu nggak takut sendirian di sini?” ucapnya basa – basi.

“ oh, aku lagi istirahat aja, coz aku capek banget dari haiking tadi siang.” Ujarku mencoba bersikap ramah.

“ oia,perkenalkan nama aku Fian. Kalau kamu?” ujarnya ramah sambil mengulurkan tangannya pertanda membuka pertemanan.

“ aku Nisa “ jawabku walau dengan rasa terpaksa.

Perbincangan yang terjadi malam itu nampaknya membawa kesan tersendiri bagi Fian, aku tak tahu kenapa tapi dia seolah – olah selalu mencari perhatian dariku.

Keesokan harinnya saat kami selesai di kukuhkan menjadi anggota baru dari Ganesha, akupun segera bergegas mempersiapkan barang – barang bawaanku untuk segera pulang ke rumah, maklum sudah 3 hari aku tak bertemu keluarga rindu juga rasanya………………..

Saat tengah asyik membereskan barang bawaanku, tiba – tiba Fian datang ke tendaku dan memberi sekotak bingkisan dengan alasan hadiah perpisahan kami. Dan tanpa rasa curiga sedikitpun, akhirnya bingkisan itu aku terima.

Saat selesai bakti sosial akupun langsung pulang ke rumah saat itu, mungkin karena rasa lelah dan ngantuk yang sejak tadi membayangiku dalam perjalanan, aku tak sempat lagi memperbaiki barang bawaanku  saat tiba di rumah.

Aku langsung merebahkan tubuhku di kamar, dan tanpa sadar aku sudah berada dalam alam bawah sadarku. Entah mengapa dalam mimpiku, aku melihat Fian bersama seseorang yang tidak asing bagiku, orang itu seperti seseorang yang sudah lama tak ku jumpai dalam hidupku. Sejuta pertanyaanpun muncul kembali dalam anganku namun ku pupuskan semua prasangka itu.

Setelah merasa cukup istirahat, akhirnya ku putuskan untuk mencari kesibukan baru. Saat ku tengah mencari buku untuk ku baca, tiba – tiba saja mataku terpaku pada sebuah benda yang ada di atas meja belajarku.Karena tak ingin terjebak dengan rasa penasaranku, akhirnya ku raih benda itu yang ternyata adalah bingkisan yang diberikan Fian dan ku putuskan untuk membuka bingkisan itu.

Napasku serasa berhenti sejenak, dadaku terdegup kencang melihat isi bingkisan itu. Dalam hatiku timbul sejuta Tanya, siapa sebenarnya Fian???? Mengapa dia datang secara tiba – tiba dalam kehidupanku dan membawa semua kenangan lama yang ingin kukubur????? Apa sebenarnya maksud dari kedatangannya???? Semua pertanyaan itu kulontarkan sendiri untuk diriku. Hingga pertemuan rutin anak Ganesha dilaksanakan.

Saat angkatan yang baru dikukuhkan berkumpul, aku berusaha mencari Fian untuk meminta penjelasan dari bingkisan yang ia berikan padaku dan apa maksud dari semua ini?. Namun, usahaku seakan sia – sia. Aku tak lagi menemukan sosok Fian yang misterius itu dalam ruangan.

Hingga akhirnya aku bertemu dengan Arif teman Fian. Dan dari Arif, aku hanya mendapat informasi yang sedikit tentang sosok misterius Fian.

Arif hanya mengatakan kepadaku bahwa, Fian tinggal di daerah kota Soppeng dan dia tak memberiku alamat lengkap. Tapi karena rasa penasaran yang terus membayangiku akhirnya ku putuskan mencari rumah Fian. Aku seperti seorang yang mencari jarum dalam tumpukan jerami, tapi apa daya. Aku harus berhasil menemukan Fian dan memintanya menjelaskan semua hal yang mengganjal hatiku.

……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….

Pencarian sosok Fian bagiku hampir tak mampu lagi kulakukan, aku seakan sudah menyerah bagaimana tidak. Sudah hampir 1 minggu aku mencari sosok itu namun tak kunjung ku temukan. Dalam benakku telah ada rasa putus asa mungkin ini sudah takdirku dan biarkanlah itu menjadi kenangan yang juga akan ikut terkubur bersama angan yang lain.

Keesokan harinya, kuputuskan untuk pulang, dan kebiasaan sebelum pulang dari Soppeng adalah mengunjungi makam sahabatku yang masih sampai sekarang kenangan bersama dia masih terus ada dan akan selalu ada. Kebiasaan ini juga seakan sudah menjadi kewajiban bagiku, hitung – hitung bersiarah ke makamnya agar dia tahu bahwa sulit bagiku melupakannya dan sampai sekarang belum ada yang menggantikan posisinya di hatiku.

Saat di perjalanan dalam benakku hanya ada sejuta alasan yang terus terlontar tentang sosok Fian yang sangat misterius bagiku.

Saat sampai di pekuburan yang ada di Soppeng, kulangsung menuju makam sahabatku, dan dari kejauhan ku melihat seseorang yang seperti kukenal namun aku tak tahu siapa dia?. Dalam benakku timbul kembali pertanyaan, siapa orang itu? Mau apa dia di makam sahabatku? . Pertanyaan itu kucoba menepisnya dan kuarahkan langkahku menuju makam sahabatku itu.

 “ hai, siapa kamu??? Dan  mau apa kamu di makam ini????” tanyaku mencoba mengintrogasi orang yang ada di hadapanku itu.

“ aku????????” jawabnya sambil memalingkan wajahnya menatapku.

“ Fian?????????????????????? Sedang apa kau di sini?????” Tanya penuh rasa ingin tahu.

”aku hanya mengunjungi makam sahabatku………..tidak lebih.” Jelasnya kepadaku dengan wajah selalu dihiasi senyuman.

“ sahabat????????????????? Apa yang kau maksud sahabat adalah makam Aulia????????????” tanyaku semakin dipenuhi rasa penasaran

“ Aulia?????? Tentu saja. Tapi , kenapa wajahmu seperti melihat hantu saja?” Tanya Fian yang berbalik melontarkan pertanyaan kepadaku.

“ tentu saja aku merasa heran. Dan sekarang tolong jelaskan siapa kamu sebenarnya???? Sejak  kapan kamu bersahabat dengan Aulia???? Dan apa maksudmu memberikan bingkisan yang berisi kenangan – kenanganku bersama Aulia????? ” tanyaku seakan – akan melontarkan seluruh hal yang telah membebani pikiranku selama ini.

“ ok!! Aku akan menjelaskan semuanya kepadamu, tapi kamu tenang dulu biarkan aku menjawabnya. Perkenalkan nama aku Fian aku adalah sahabat Aulia, aku bertemu dengan Aulia saat dia pindah ke Soppeng, di sana kebetulan aku juga sekelas dengannya. Aku selalu berbagi pengalaman dengan Aulia dan tiap kami bersama, dia selalu menceritakan semua hal tentang dirimu dan juga kenangan kalian semasa masih bersama. Sebenarnya  Aulia juga punya rencana untuk memperkenalkanku kepada mu tapi sebelum semua itu terjadi, Tuhan sudah berkehendak lain. Dan semasa Aulia terbaring di rumah  sakit, dia memberikan benda – benda itu kepadaku, katanya sih benda – benda itu punya kenangan yang sangat berharga bagi kalian, makanya saat aku melihat kamu diperkemahan itu, aku langsung memberikan bingkisan itu kepadamu tanpa sempat lagi menjelaskan semua ini.” Jelas Fian mencoba menghapus semua pertanyaanku.

Dari penjelasan Fian, kembali timbul sejuta pertanyaan dalam anganku…………….. apa sebenarnya maksud dari semua ini???? Mengapa sosok Fian yang misterius itu tiba – tiba muncul dalam kehidupanku????  Dan mengapa sosok yang tiba – tiba muncul itu membawa sejuta kenangan lama yang sudah ingin ku lupakan???? Apakah memang takdirku yang tidak bisa lepas dari semua hal tentangmu???? Dan apakah sahabatku kecewa pada diriku karena ingin melupakan kenangan bersamanya???????? Tapi jujur aku tak sanggup hidup hanya dengan kenangan yang terus membayangi tentang sosok yang telah lama ku rindukan……………. Aku ingin kembali hidup bersamamu, bukan dalam angan atau mimpi tapi dalam alam yang nyata yang jauh dari khayalan.

Untuk Sahabatku

Ketika dunia terang, alangkah semakin indah jikalau ada sahabat disisi. Kala langit mendung, begitu tenangnya jika ada sahabat menemani. Saat semua terasa sepi, begitu senangnya jika ada sahabat disampingku. Sahabat. Sahabat. Dan sahabat. Ya, itulah kira-kira sedikit tentang diriku yang begitu merindukan kehadiran seorang sahabat. Aku memang seorang yang sangat fanatik pada persahabatan.

Namun, sekian lama pengembaraanku mencari sahabat, tak jua ia kutemukan. Sampai sekarang, saat ku telah hampir lulus dari sekolahku. Sekolah berasrama, kupikir itu akan memudahkanku mencari sahabat.

Tapi kenyataan dengan harapanku tak sejalan. Beragam orang disini belum juga bisa kujadikan sahabat. Tiga tahun berlalu, yang kudapat hanya kekecewaan dalam menjalin sebuah persahabatan. Memang tak ada yang abadi di dunia ini. Tapi paling tidak, kuharap dalam tiga tahun yang kuhabiskan di sekolahku ini, aku mendapatkan sahabat. Nyatanya, orang yang kuanggap sahabat, justru meninggalkanku kala ku membutuhkannya. “May, nelpon yuk. Wartel buka tuh,” ujar seorang teman yang hampir kuanggap sahabat, Riea pada ‘sahabat’ku yang lain saat kami di perpustakaan. “Yuk, yuk, yuk!” balas Maya, ‘sahabatku’. Tanpa mengajakku Kugaris bawahi, dia tak mengajakku.

Langsung pergi dengan tanpa ada basa-basi sedikitpun. Padahal hari-hari kami di asrama sering dihabiskan bersama. Huh, apalagi yang bisa kulakukan. Aku melangkah keluar dari perpustakaan dengan menahan tangis begitu dasyat. Aku begitu lelah menghadapi kesendirianku yang tak kunjung membaik. Aku selalu merasa tak punya teman. “Vy, gue numpang ya, ke kasur lo,” ujarku pada seorang yang lagi-lagi kuanggap sahabat. Silvy membiarkanku berbaring di kasurnya.

Aku menutup wajahku dengan bantal. Tangis yang selama ini kutahan akhirnya pecah juga. Tak lagi terbendung. Sesak di dadaku tak lagi tertahan. Mengapa mereka tak juga sadar aku butuh teman. Aku takut merasa sendiri. Sendiri dalam sepi begitu mengerikan. Apa kurangku sehingga orang yang kuanggap sahabat selalu pergi meninggalkanku. Aku tak bisa mengerti semua ini. Begitu banyak pengorbanan yang kulakukan untuk sahabat-sahabatku, tapi lagi-lagi mereka ‘menjauhiku’. “Faiy, lo kenapa sih ? kok nangis tiba-tiba,” tanya Silvy padaku begitu aku menyelesaikan tangisku. “Ngga papa, Vy,” aku mencoba tersenyum. Senyuman yang sungguh lirih jika kumaknai. “Faiy, tau nggak ? tadi gue ketemu loh sama dia,” ujar Silvy malu-malu. Dia pasti ingin bercerita tentang lelaki yang dia sukai. Aku tak begitu berharap banyak padanya untuk menjadi sahabatku.

Kurasa semua sama. Tak ada yang setia. Kadang aku merasa hanya dimanfaatkan oleh ‘sahabat-sahabatku’ itu. Kala dibutuhkan, aku didekati. Begitu masalah mereka selesai, aku dicampakkan kembali. “Faiy, kenapa ya, Lara malah jadi jauh sama gue. Padahal gue deket banget sama dia. Dia yamg dulu paling ngerti gue. Sahabat gue,” Silvy curhat padaku tentang Lara yang begitu dekat dengannya, dulu. Sekarang ia lebih sering cerita padaku. Entah mengapa mereka jadi menjauh begitu. “Yah, Vy. Jangan merasa sendirian gitu dong,” balasku tersenyum. Aku menerawang,” Kalau lo sadar, Vy, Allah kan selalu bersama kita. Kita ngga pernah sendirian. Dia selalu menemani kita. Kalau kita masih merasa sendiri juga, berarti jelas kita ngga ingat Dia,” kata-kata itu begitu saja mengalir dari bibirku. Sesaat aku tersadar. Kata-kata itu juga tepat untukku. Oh, Allah, maafkanku selama ini melupakanmu. Padahal Dia selalu bersamaku.

Tetapi aku masih sering merasa sendiri. Sedangkan Allah setia bersama kita sepanjang waktu. Bodohnya aku. Aku ngga pernah hidup sendiri. Ada Allah yang selalu menemaniku. Dan seharusnya aku sadar, dua malaikat bahkan selalu di sisiku. Tak pernah absen menjagaku. Kenapa selama ini aku tak menyadarinya? Dia akan selalu mendengarkan ‘curhatanku’. Dijamin aman. Malah mendapat solusi. Silvy tiba-tiba memelukku. “Sorry banget, Faiy. Seharusnya gue sadar. Selama ini tuh lo yang selalu nemenin gue, dengerin curhatan gue, ngga pernah bete sama gue. Dan lo bisa ngingetin gue ke Dia. Lo shabat gue. Kenapa gue baru sadar sekarang, saat kita sebentar lagi berpisah…” Silvy tak kuasa menahan tangisnya.

Aku merasakan kehampaan sejenak. Air mataku juga ikut meledak. Akhirnya, setelah aku sadar bahwa aku ngga pernah sendiri dan ingat lagi padaNya, tak perlu aku yang mengatakan ‘ingin menjadi sahabat’ pada seseorang. Bahkan malah orang lain yang membutuhkan kita sebagai sahabatnya. Aku melepaskan pelukan kami. “ Makasih ya, Vy. Ngga papa kok kita pisah. Emang kalau pisah, persahabatan bakal putus. Kalau putus, itu bukan persahabatan,” kataku tersenyum. Menyeka sisa-sisa air mataku. Kami tersenyum bersama. Persahabatan yang indah, semoga persahabatan kami diridoi Allah. Sahabat itu, terkadang tak perlu kita cari. Dia yang akan menghampiri kita dengan sendirinya. Kita hanya perlu berbuat baik pada siapapun. Dan yang terpenting, jangan sampai kita melupakan Allah. Jangan merasa sepi. La takhof, wala tahzan, innallaha ma’ana..Dia tak pernah meninggalkan kita. Maka jangan pula tinggalkannya.

12.0pt;� n-�o �z 0%;font-family:”Cataneo BT”‘>Aku bingung mencarimu ibu. Aku mencoba untuk menghubungi kerabat dekat, kerabat jauh bahkan temanmu. Bertanya dimana kini kau berada, tapi mereka sama sekali tak mengetahuinya dan balik menanyaiku. Aku menangis ibu, dan kau tak tahu seberapa besar kekawatiranku dan Deddy yang begitu panik mencarimu kemana-mana. Seakan-akan kami berdua baru saja kehilangan jiwa kami, aku merasa tubuhku kosong, nafasku terasa berat. Berhari-hari aku mengingat dan memikirkan keadaanmu. Aku takut kalau sakit yang kau derita kambuh lagi karena kau tak akan mampu melangkah  jika sakit itu kambuh. Aku takut jika aku tak bisa menemuimu lagi dan mendengarkanmu menyanyikan lagu itu untukku.

Bu saat itu tak ada lagi sandaran buat aku untuk bercerita. Tak ada lagi orang yang bisa aku percaya. Ayah terlalu sibuk dengan masa dudanya, adik juga, mereka hanya sibuk dengan diri mereka sendiri. Akulah kini yang bertanggung jawab, mengerjakan segala sesuatu di rumah. Ibu, sekarang  aku tak bisa menikmati masa remajaku, itu semua karena tanggung jawabku yang tak bisa aku tinggalkan. Kerap kali aku jadi stres karena aku harus membagi waktuku antara kuliah dengan kerjaan. Aku juga tak pernah dihargai oleh mereka. Aku selalu saja dianggap tak bisa membuat mereka bangga, padahal mereka tahu sendiri bagaimana letihnya aku karena memikul beban ini sendirian.

Ibu andai saja ada dua pilihan, satu-satunya yang kupilih adalah ikut bersamamu, andai saja wanita Bali bebas memilih adat, aku yang pertama kali yang akan ikut adatmu, asalkan aku tetap berada di dekatmu, mendengarkan nyanyianmu, itu sudah membuatku merasa nyaman.

Sekali lagi aku ingin mendengarkan nyangiann itu ibu. Jika kita dipertemukan kembali, aku ingin kau nyanyikan lagu itu lagi untukku seperti sepuluh tahun yang lalu di saat aku masih merengek-rengek dan selalu minta  kau rangkul.

l�Jhi�z �z >Aku mengalah. Kuterima jas hujan parasut yang panjang selutut itu.

”Ini payungnya, Pa.”

”Tidak usah.”

Sempat kudengar gerutu putriku ketika aku membuka pintu dan melangkah, menyentuh tirai gerimis, ”Dasar keras kepala.”

***

Itu dulu, sebelum datang tahun-tahun yang ganjil ini.

Pada awal tahun masih kukagumi Januari dan Februari sebagaimana biasa, tapi bulan demi bulan berlalu dan genangan air mula�re�0�udut-sudut kota, bantaran sungai, bahkan hingga di tengah kota. Kendaraan-kendaraan seperti berenang akibat banjir. Kini hujan bukan lagi sekadar gerimis yang menggemaskan bagai kanak-kanak, melainkan berupa curahan air terjun disertai petir dan angin ribut.

Sepanjang hari langit gelap dan mendung selalu mengurung berupa gumpalan-gumpalan hitam yang menakutkan. Aku tidak lagi berminat keluar rumah apabila hujan mulai tercurah. Yang kulakukan hanya duduk mematung di sisi jendela sambil membayangkan masa lalu yang tidak akan kembali. Walaupun demikian, aku tidak ingin berubah pikiran hanya karena perubahan iklim. Aku ingin mengenang hujan yang indah dalam benakku.

Tiba-tiba, petir membahana. Jantungku nyaris copot. Lantas atap berderak diterpa angin.

”Pakai mantel ini, Kek,” bisik cucuku dengan lembut. Senyumnya teduh. Sebentar lagi dia akan menikah. Alangkah cepat waktu berlalu. Kurasakan kantong mataku memberat.

Ketika mantel yang tebal dan lembut menyentuh kulitku, barulah aku menyadari bahwa aku menggigil kedinginan sejak tadi.

Sebaris Nyanyian dari Ibu

Ibuku malang ibuku tersayang…

Tatap matamu Satu,

 seakan kasih sebening kaca.

Masa-masa duka,

Kau bangkitkan gaya jua

Dalam mengarungI gelombang samudra hidup ini.

Nasib tiada pernah kau ratapi

Kau terima dengan tabah

Kehidupan ini kau anggap bagai menggarap sawah

Dengan keringat sendiri kau tanamkan rasa harga diri.

Nyanyian itu tak akan pernah terlupakan olehku. Nyanyian yang mengingatkan aku akan ibu yang telah melahirkan aku dan membesarkanku hingga aku menjadi seperti ini. Aku sangat bersyukur karena aku mempunyai seorang ibu yang berhati mulia, yang setiap malam selalu mengantar aku tidur sambil menyanyikan lagu itu, menasehati aku, memberikan aku pujian dan membuat aku bangga padanya karena ketabahan hatinya. Meskipun sering kali aku membuatnya kecewa tapi ibu tak pernah sedikitpun membesarkanya. Dia tahu bagaimana yang seharusnya dia lakukan untuk memberiku semangat ketika aku merasa terpuruk, patah hati dan hilang kendali. Ibu adalah teman yang selalu mengisi hariku dan tempat berlabuh dimana semua kekesalan ku terobati. Ibu, aku rindu padamu…kapan kau akan menyanyikan lagu itu lagi? Kapan kau akan menjaga aku ketika aku tengah sekarat, dikala tak mampu untuk menyuap makanan. Kaulah penolongku ibu. Aku rindu semua itu. Biar sedewasa apupun diriku, jika berada di dekapmu aku merasa diriku seperti sepuluh tahun yang lalu. Merengek, manja dan selalu ceroboh.

Akhir-akhir ini, Aku tahu kau merasa  terkekang dengan sikap ayah, merasa dihianati, merasa tak dihargai. Aku tahu kau sangat prustasi. Sering kali dalam keluarga kita terjadi percecokan dan semua kesalahan selalu dilimpahkan padamu. Kau menerimanya dengan lapang meskipun kau tahu sendiri kalau itu bukan kesalahmu. Ayah tak tahu apa-apa tentang kasih sayang yang kau berikan kepada kami. Dia hanya bisa menuntut dan menuntut agar kita menuruti semua kemauannya dan jika tidak, kitalah yang dianggap tak tahu berterima kasih atas nafkahnya. Kau tak pernah menyadarinya ibu, sehabis kau dan ayah bertengkar, aku tak pernah absen mengintipmu yang sedang menangis termangut-mangut dan kau sesekali menyalahkan dirimu sendiri. Ketika aku mulai terhanyut oleh tangisanmu, tanpa aku menyadari air mataku ikut menetes. Setitik, dua titik hingga mataku sembab.

Tak berakhir di situ. Semua orang mengejekmu, menghinamu karena kau dianggap tak berhasil dalam mengurus keluarga, karena kau disebut-sebut sebagai wanita jalang dan materialistis. Padahal mereka tidak tahu apa-apa. Mereka hanya pandai membuat masalah baru tanpa mengintropeksi diri mereka terlebih dahulu. Aku jadi geram mendengar kata-kata mereka. Kalau saja mereka bukan keluarga dekat kita, ingin rasanya aku menghantam dan menjahit mulut mereka agar berhenti membuat gosip yang tak sedap mengenaimu. Bukanya aku tak berani membelamu, hanya saja mereka terlalu tua, dan bukankah ibu pernah menasehatiku, ”kalau ada orang yang berbuat nggak baik terhadap kita, kita harus diamkan karena karma masih berlaku di muka bumi ini Ka.” dan aku sangat, sangat menghargai nasehatmu itu.

Itu bukan sekali, dua kali kau mendapat perlakuan tidak baik dari mereka. Mereka memang nggak punya perasaan Bu, dan yang terakhir kau di fitnah berselingkuh hingga terjadi percecokan yang paling hebat dari yang sebelumnya. Sebegitu tak tahannya dirimu atas ketidakadilan tersebut, kau terpaksa pergi meninggalkan aku dan Deddy. Kau pergi tepat pada saat aku terjaga oleh mimpi meskipun tanpa nyanyian itu. Kau pergi pada tanggal 17 januari 2010, pukul empat ketika fajar belum tampak dari wajah bumi. Kau pergi dengan membawa luka serta kesedihanmu. Padahal tujuh hari sebelumnya, kita baru saja melangsungkan pesta ulang tahunmu yang ke-38.

Aku bingung mencarimu ibu. Aku mencoba untuk menghubungi kerabat dekat, kerabat jauh bahkan temanmu. Bertanya dimana kini kau berada, tapi mereka sama sekali tak mengetahuinya dan balik menanyaiku. Aku menangis ibu, dan kau tak tahu seberapa besar kekawatiranku dan Deddy yang begitu panik mencarimu kemana-mana. Seakan-akan kami berdua baru saja kehilangan jiwa kami, aku merasa tubuhku kosong, nafasku terasa berat. Berhari-hari aku mengingat dan memikirkan keadaanmu. Aku takut kalau sakit yang kau derita kambuh lagi karena kau tak akan mampu melangkah  jika sakit itu kambuh. Aku takut jika aku tak bisa menemuimu lagi dan mendengarkanmu menyanyikan lagu itu untukku.

Bu saat itu tak ada lagi sandaran buat aku untuk bercerita. Tak ada lagi orang yang bisa aku percaya. Ayah terlalu sibuk dengan masa dudanya, adik juga, mereka hanya sibuk dengan diri mereka sendiri. Akulah kini yang bertanggung jawab, mengerjakan segala sesuatu di rumah. Ibu, sekarang  aku tak bisa menikmati masa remajaku, itu semua karena tanggung jawabku yang tak bisa aku tinggalkan. Kerap kali aku jadi stres karena aku harus membagi waktuku antara kuliah dengan kerjaan. Aku juga tak pernah dihargai oleh mereka. Aku selalu saja dianggap tak bisa membuat mereka bangga, padahal mereka tahu sendiri bagaimana letihnya aku karena memikul beban ini sendirian.

Ibu andai saja ada dua pilihan, satu-satunya yang kupilih adalah ikut bersamamu, andai saja wanita Bali bebas memilih adat, aku yang pertama kali yang akan ikut adatmu, asalkan aku tetap berada di dekatmu, mendengarkan nyanyianmu, itu sudah membuatku merasa nyaman.

Sekali lagi aku ingin mendengarkan nyangiann itu ibu. Jika kita dipertemukan kembali, aku ingin kau nyanyikan lagu itu lagi untukku seperti sepuluh tahun yang lalu di saat aku masih merengek-rengek dan selalu minta  kau rangkul.

l�Jhi�z �z >Aku mengalah. Kuterima jas hujan parasut yang panjang selutut itu.

”Ini payungnya, Pa.”

”Tidak usah.”

Sempat kudengar gerutu putriku ketika aku membuka pintu dan melangkah, menyentuh tirai gerimis, ”Dasar keras kepala.”

***

Itu dulu, sebelum datang tahun-tahun yang ganjil ini.

Pada awal tahun masih kukagumi Januari dan Februari sebagaimana biasa, tapi bulan demi bulan berlalu dan genangan air mula�re�0�udut-sudut kota, bantaran sungai, bahkan hingga di tengah kota. Kendaraan-kendaraan seperti berenang akibat banjir. Kini hujan bukan lagi sekadar gerimis yang menggemaskan bagai kanak-kanak, melainkan berupa curahan air terjun disertai petir dan angin ribut.

Sepanjang hari langit gelap dan mendung selalu mengurung berupa gumpalan-gumpalan hitam yang menakutkan. Aku tidak lagi berminat keluar rumah apabila hujan mulai tercurah. Yang kulakukan hanya duduk mematung di sisi jendela sambil membayangkan masa lalu yang tidak akan kembali. Walaupun demikian, aku tidak ingin berubah pikiran hanya karena perubahan iklim. Aku ingin mengenang hujan yang indah dalam benakku.

Tiba-tiba, petir membahana. Jantungku nyaris copot. Lantas atap berderak diterpa angin.

”Pakai mantel ini, Kek,” bisik cucuku dengan lembut. Senyumnya teduh. Sebentar lagi dia akan menikah. Alangkah cepat waktu berlalu. Kurasakan kantong mataku memberat.

Ketika mantel yang tebal dan lembut menyentuh kulitku, barulah aku menyadari bahwa aku menggigil kedinginan sejak tadi.

Hujan yang Indah

Adapted : Kompas

Di sini hujan turun seperti gadis kecil yang pemalu, tetapi selalu riang. Kadang kala kubayangkan hujan mengetuk-ngetuk bumi dengan kaki-kaki gadis kecil yang menari kian kemari. Aspal, trotoar, dan pepohonan basah tapi ceria turut menari bersama.

Di sini hujan sering turun dan, uniknya, hampir selalu hanya berupa gerimis. Sesekali saja terjadi hujan lebat dengan angin ribut atau geledek membentak-bentak di angkasa.

Apabila hujan turun, aku paling suka duduk dekat jendela sambil melipat tangan di meja. Kulayangkan pandangan ke luar sambil menyimak ketukan air tempias ke kaca. Dari jendela tampak dinding-dinding dan atap bangunan kuno di seberang jalan. Dalam kondisi kering, tembok dan atapnya tampak kelabu terang, tapi setelah dibasahi hujan, warnanya menggelap dan terlihat misterius, seakan-akan di dalam gedung itu ada makhluk-makhluk gaib yang bergentayangan. Pada bagian tertentu meruap juga nuansa merah bata yang asli, meski tidak mencolok. Bangunan itu ada sebelum aku dilahirkan dan seingat aku bentuknya tidak pernah diubah oleh pemiliknya.

Selain itu, yang kuintai manakala hujan tengah mempersembahkan baktinya kepada bumi adalah angkasa kelabu yang menggigil dan memuncratkan seluruh embun yang menggenangi permukaannya kepada bentang alam yang telentang pasrah. Pernah aku membayangkan langit sebagai dada perempuan yang berdegup dengan suasana batin seorang ibu yang prihatin dan bersedih. Dada yang subur. Dada yang telanjang, tetapi sensualitasnya terselubung oleh uap samar yang menenangkan. Kemudian dada itu berpeluh. Peluh yang menyembul melalui pori-pori dan melapisi kulitnya yang halus dengan genangan embun bening menebal. Ketika angin menepuk dada itu, genangan itu luruh menjadi hujan.

Aku pernah mengungkapkan gambaran tersebut kepada seorang teman, tetapi dia mencibir seraya berujar, ”Bukankah seharusnya dada memuncratkan air susu? Mengapa keringat? Lalu di mana keindahannya? Ada-ada saja kamu ini. Air susu adalah metafora bagi cinta seorang ibu. Mestinya kamu tahu, sengawur apa pun imajinasi, sepatutnya diperkuat logika—mungkin dalam ketidakmungkinannya.”

”Haruskah begitu?”

Dia tertawa, kemudian dengan gaya merenung yang dibuat-buat dia bersabda, ”Kamu ini naif sekali. Bergaya penyair, tapi tidak paham perkara remeh seperti itu.”

”Aku tidak bermaksud bergaya penyair.”

Temanku tersenyum dan kupikir itu senyuman orang jahat. Agar tidak menambah kesan jahat pada dirinya, aku tidak pernah lagi mengungkapkan apa pun yang melintas di benakku sebagai apa yang dia istilahkan ”buah imajinasi”. Anehnya, setelah hijrah ke luar negeri, dia lebih sering bertanya soal hujan kepadaku lewat telepon, pesan singkat, dan surat elektronik. Aku hanya menjawab sekenanya. Kemudian dia memprotes.

Protes itu dia lontarkan dalam obrolan via internet. Saat itu matahari tengah memancarkan cahayanya dengan murah hati. Akhir pekan yang cerah. Terlalu cerah malah.

”Dulu kamu sering berkomentar tentang hujan. Kau bilang indahlah, romantislah, begini, begitu. Sekarang kenapa kering ungkapanmu? Apakah sudah jelek hujan di sana sekarang?”

Uh, sinis sekali.

”Hujannya tetap seperti dulu.”

”Lalu?”

”Aku tidak bisa ceritakan. Kalau kamu mau tahu, pulanglah dan saksikan sendiri. Tak bisa kamu mencerap keindahan hanya lewat komentar orang lain.”

”Wah, hebatnya!”

”Salah sendiri, bertanya soal hujan pada saat matahari bersinar terang.”

”Oh, di sana cerah sekarang?”

”Ya.”

”Di sini beku. Kami dikepung salju seminggu penuh!”

Lambat laun kami semakin jarang berkomunikasi. Mungkin dia sibuk. Aku sendiri sibuk, ditambah kehadiran perempuan yang menjadi ibu bagi putra-putriku. Selanjutnya anak-anak mempersembahkan cucu-cucu untuk kami. Kawanku yang kadang-kadang menyebalkan itu tidak pernah mudik dan tanpa kabar lagi.

Kebiasaanku menikmati hujan tidak pernah berubah, meski tidak sesering dulu. Mungkin intensitas penikmatannya pun tidak sedalam dulu, entahlah. Sesekali aku masih keluar rumah ketika gerimis mulai turun, yang menimbulkan kejengkelan anak bungsuku dan menantu yang tinggal serumah dengan kami. Istriku sendiri tidak banyak cakap. Kukira dia sudah tahu tidak ada gunanya melarang aku menikmati hujan.

”Kalau Papa sakit bagaimana? Sudah tua masih suka keluyuran dalam hujan. Ini payung dan jas hujan.”

Kecerewetannya sungguh menjengkelkan.

”Apakah dulu aku pernah melarang kamu dan kakak-kakakmu berhujan-hujan?” begitulah aku pernah mengomel. Menantuku mundur dengan bijaksana, tapi putriku pantang menyerah.

”Iya. Malah dulu Papa cerewet sekali.”

”Apa iya?”

”Iya.”

Aku mengalah. Kuterima jas hujan parasut yang panjang selutut itu.

”Ini payungnya, Pa.”

”Tidak usah.”

Sempat kudengar gerutu putriku ketika aku membuka pintu dan melangkah, menyentuh tirai gerimis, ”Dasar keras kepala.”

***

Itu dulu, sebelum datang tahun-tahun yang ganjil ini.

Pada awal tahun masih kukagumi Januari dan Februari sebagaimana biasa, tapi bulan demi bulan berlalu dan genangan air mulai terbentuk di sudut-sudut kota, bantaran sungai, bahkan hingga di tengah kota. Kendaraan-kendaraan seperti berenang akibat banjir. Kini hujan bukan lagi sekadar gerimis yang menggemaskan bagai kanak-kanak, melainkan berupa curahan air terjun disertai petir dan angin ribut.

Sepanjang hari langit gelap dan mendung selalu mengurung berupa gumpalan-gumpalan hitam yang menakutkan. Aku tidak lagi berminat keluar rumah apabila hujan mulai tercurah. Yang kulakukan hanya duduk mematung di sisi jendela sambil membayangkan masa lalu yang tidak akan kembali. Walaupun demikian, aku tidak ingin berubah pikiran hanya karena perubahan iklim. Aku ingin mengenang hujan yang indah dalam benakku.

Tiba-tiba, petir membahana. Jantungku nyaris copot. Lantas atap berderak diterpa angin.

”Pakai mantel ini, Kek,” bisik cucuku dengan lembut. Senyumnya teduh. Sebentar lagi dia akan menikah. Alangkah cepat waktu berlalu. Kurasakan kantong mataku memberat.

Ketika mantel yang tebal dan lembut menyentuh kulitku, barulah aku menyadari bahwa aku menggigil kedinginan sejak tadi.

Black Experience

Bulan maret telah tiba,   seperti tahun -taun sebelumnya sekolah kami menggadakana perkemahan untuk pelantikan bantara. Aku dan teman-teman da yang lain ikut dalam organisasi pramuka disekolah ikut andil dalam terselengaranya kegiatan itu menjadi panitia pelaksanaan bantara. Event yang cukup besar dalam kalender event pramuka untuk itu kami mempersispkan kegiatan itu jauh-jauh hari sebelumnya, kami mempersiapkan benyak hal dari mulai pembentukan panitia,   pembagian tugas dan pemilihan lokasi untuk tempat bantara yang dilaksnakan di bukit perkemahan kembali sadar benyumas,  eh,  ,  ,  maaf maksudku kendali sada!. Tempat itu sangat asing buat kami karena tidak seperti tahun-tahun sebelumya yang biasanya bukan di bukit perkemahan. Entah apa alasanya. Kami memilih tempat itu karena disana sudah di sediakan fasilitas yang cukup lengkap ada mck,  ruang sekertariat,  lapangan,  tapi yang aneh adalah mushola itu tidak boleh di pake padahal masih bagus memang sedikit kotor,  kenapa ga boleh di pake ya?tanyaku dalam hati.

Tiba saatnya kegiatan dimulai,  dengan diawali bacaan bismillah kami berangkat dari maos menuju bukit perkemahan banyumas dengan mengunakan truk. Sesampainya disana panitia langsung mempersiap kan perlengkapan untuk pesrta yang sedang barjalan kaki menuju tempat perkemahan.  Awalnya kegiatan berjalan dengan lancar sampai suatu malam pada saat kegiatan jerit malam,  saat peserta dibangunkan tepat tengah malam kejadian yang kami khawatirkan terjadi. Salah satu peserta mengalami kerasukan! Bulu kudukku merinding tiba-tiba. Hatiku sedikit bergetar. Aku berpikir keras mungkinkah memang ada mahluk lain disekitarku?aku mengeleng-geleng kepala sambil tertawa kecil. Mustahil! Bukankah mereka sudah meningal,  mana ada orang yang sudah meninggal bisa gentayangan seperti di sinetron-sinetron itu? Hiburku dalam hati.  Dalam kepanikan dan ketakutan allhamdulillah dia bisa keluar juga dari tubuh eza,  untuk mengantisipasi kejadian itu trulang kembali maya,  siti dan putri tidur di tenda peserta. Malam itu rupanya menjadi permulaan bagi kami,  kejadian kesurupan itu terus berlanjut.

Paginya salah seorang peserta datang ke tenda sekertariat dan menghampiri kami,  entah apa yang mau ana katakan,  dari raut mukanya seperti nya ini bukan kabar gembira. Dan benar saja sambil mengeluarkan air mata ana bilang kalo tadi malam dia melihat sesosok kuntilanak.
“assataghfirallah,  dimana kamu lihatnya an?”

“di belakang tenda kak. Awalnya ku juga nga percaya,  ku pikir itu cuma halusinasi,  tapi nur juga melihat hal yang sama ka,  bukan cuma aku aja yang lihat. ” perkemahan yang tadinya penuh dengan keceriaan berubah menjadi ketakutan setelah kejadian itu. Untuk menghilangkan rasa takut kami menganti kegiatan hari itu yang rencananya akan ada penggembaraan diganti dengan senam pagi dan lomba-lomba. Kegiatan itu cukup berhasil membuang sejenak rasa takut mereka dan memberikan senyum semangat mereka. Senang rasanya bisa melihat mereka tepuk tangan saat senam pagi,  tertawa dan terjatuh saat lomba tarik tambang,  pusing saat lct,  berantakan saat lomba masak walau begitu masakan kalian enak karena rasanya rasah mbayar,  marah dan mengeluh waktu disuruh membawa kayu saat dinamika kelompok. Senang rasanya bisa melihat keceriaan kalian,   belum lagi nanti saat acara api unggun,  acara yang paling dinanti.  Namun jangankan melaksanakanya,  membayangkanya saya rasanya jauh. Karena sorenya sebulum api ungun dimulai,  kejadian itu terjadi lagi. Bahkan lebih parah,  kali ini eza meronta,  berteriak dan bukan cuma eza tapi juga bertambah ke anak-anak yang lain. Keceriaan tadi berubah menjadi ketakutan,  anak-anak dipindahkan dari lapangan menuju pendopo. Suasana panik,  takut,  kacau menyatu jadi satu. Terikan kepanasan dan kesakitan karena dibacakan ayat-ayat sucu al-quran begitu terasa terdengar di telingaku. Subhanallah.  Untuk mencairkan suasana aris dan tuti menghibur peserta dengan bernyanyi berharap mereka tetap tenang. Tapi rupanya itu tidak banyak membantu. Malah semakin bertambah.

Kenapa ini?pertanyaan itu tiba-tiba muncul dalam benaku. Tak berapa lama tanyaku terjawab.

“kenapa kamu mengangu kami?”

“kalian jahat,  kalian merusak tempat tingal kami,  kalian pacaran di dekat pohon itu,  kalian tidak berdoa”

“iya kami mengaku salah,  lalu apa yang kami lakukan supaya kalian berhenti mengangu kami?”

“doakanlah kami,  dan berdzikirlah” seketika seluruh anak-anak berdzikir menyebut nama allah.  Ku langsung teringat memang selama kegiatan ini kami sering lupa dengan allah. Kami lebih mementingkan terlaksanakanya kegiatan sehingga kami mengesampingkan sollat. Sekarang dalam keadaan seperti ini kami baru ingat kepadamu,  tapi dalam kesibukan kami kami sering melupakanmu. Maafkan dan ampunilah dosa-dosa kami ya allah.

Setelah kami melaksanakan shollat dan mendoakan mereka allhamdulillah satu-persatu dari mereka mulai sadar. Tapi tak berapa lama teriakan itu kembali terdengar. Yang menjadi korban kai ini ovi.

“kenapa kamu masuk lagi?”

“aku mau curhat sama kamu”

“curhat apa?”

“kamu tau musola itu?

“iya,  musola yang kotor dan udah nga kepake lagi?”

“aku punya kenangan di musola itu,  dulu aku solatnya ga bener bahkan jarang banget solat. Aku berubah karena cwku,  dia yang ngajarin aku solat”

“kamu sayang sama cw kamu?”

” iya,  ku pacaran juga nga gapa-gapain,  pegangan tangan aja nga pernah”

“lah,  terus kamu pacaranya gimana?”

“paling cuma jalan bareng”

“cw kamu sekarang dimana?”

“ku nga tau,  mungkin ku kuburu meningal”

“sebabnya?

“aku nga begitu inget,  yang ku inget waktu itu ku lagi mau solat asar di musola itu,  ku mau ngajak temen – temenku buat jemaah tapi mereka nga mau,  mereka malah pacaran di serambi musola. Waktu ku lagi sujud kepalaku dipukul batu sama temen-temenku sampe kepalaku penuh darah ku jalan keluar minta tolong tapi nga ada yang nolongin. Ku jatuh di depan pohon deket musola. Setelah itu ku nga inget apa-apa lagi. Ku jadi benci sama anak yang nga suka solat. Yang punya tubuh ini juga sama kaya aku. Dia rajin solat karena cwonya.

“menyedihkan ya?,  tapi sekarang kamu keluar. Kasian yang punya tubuh ini. . “

“tapi ku minta tolong sama kalian. Bersihkan musolanya ya?biar aku kalo solat nga jijik. “

“iya besok ya?ini kan udah malem,  sekarang kamu keluar ya?”

Kisah yang membuat mataku basah,  ku jadi mikir enak mungkin kalo punya cw yang solehah. Allah kan maha adil. Kalo ku baik juga insyaallah jodohku jiga baik. Ammin

Malampun berlalu kami semua tidur di pendopo. Kuhampir tidak bisa tidur karena ringkihan ade-ade kelas x. Ka dingin,  ka sakit,  ka takut. Ku nyiris melihat mereka seperti itu.  Ku coba bantu mereka semampuku sampai ku tertidur.

Sang surya mulai menampakan diri,  malam yang panjang telah berhasil kami lalui hari terakhir kami disini telah menanti berharap kita bisa segera keluar dari sini,  meningalkan tempat ini. Hanya tingal 1 acara pelantikan sekaligus upacara penutupan. Rupanya cobaan belum berakhir juga teriakan itu kembali terdengar. Ya allah berikanlah kami kesabaran.  Mereka menunjuk anak-anak yang entah dari mana mereka tau tapi memang anak-anak itu sering berbuat ulah. Yang ku harapkan setelah kejadian ini kalian sadar akan kenakalan kalian dan bisa hidup lebih baik lagi.

Allhamdulillah kami pun berhasil pulang dengan selamat. Tapi ternyata masih belum berakhir,  rupanya masih ada yang mengikuti tri sampai rumah. Paginya kami melihat kondisinya. Dan benar saja citra masih ada dalam tubuh tri.

“kenapa citra belum pergi?kasian tri?”

“citra sayang kalian,  aku nga pengin pergi”

“iya,  kami juga sayang sama citra,  tapi kita berbeda citra,  kita nga bisa bareng sama citra”

“citra sendiri disana,  citra nga punya temen,  citra kesepian. Citra pengin sama kalian”

“citra,  kamu cuma butuh sosialisasi biar citra dapet temen. Citra tetep boleh ko,  liat kegiatan kita di sekolah kalo citra mau.

“tapi citra sayang sama kalian,  citra pengin lindungi kalian”

“kami juga sayng citra tapi kta berbeda,  kalo citra sayang sama kita,  tolong keluar dari tubuh tri,  kasian tri. Apa citra nga kasian sama tri?

“citra sayang sama tri dan sama kalian juga”

“citra,  sudah saatnya kamu tenang di alam sana,  tolong keluar dari tubuh tri. “

“tapi sebelum aku pergi,  aku ingin bertemu kalian semua. Ku pengin minta maaf sama kalian”

Semua da berkumpul,  kami saling bersalaman untuk melepas kepergian citra. Kata terakhir yang ku dengar”citra sayang kalin. . . . . . . . .

Allahamdulillah,  ,  ,  tri tersadar. Tak berapa lama kemudian hujan turun bagaikan air mata dari citra,  air mata yang sangup katakan lebih banyak dari pada pesan yang disampaikan semua kata. Hari-hari yang kami jalani kini semua akan terasa sunyi,  walau hampa pasti kami hadapi. Kami ucapkan selamat jalan,  selamat jalan teman semoga kau tenang. Semua canda tawa bayangmu takan pernah hilang dari memori kami. Doa kami menemani langkahmu menuju singasana surga. . . . . . .

Saat melihatmu tersenyum

Luka dalam hati seakan sirna

Namun……

Melihatmu menangis,

Tubuh ini seakan tertusuk pedang yang tajam

 

Andai aku mempunyai kekuatan

Untuk mengatur ……

Aku ingin kau tetap  berada di sampingku

Namun…… apa daya

Aku hanya manusia biasa yang bisa

menerima takdir

 

kini disetiap doaku

aku hanya berharap kau bahagia disana

dan bias mendapat pengganti diriku

 

namun ……

satu hal yang perlu kau tahu,

untuk mendapatpengganti dirimu

ku harus menjelajahi isi dunia……

 

Created by :  Hito_O

Entahlah… tapi aku begitu takut

Aku takut kehilanganmu

Aku takut kau akan pergi

Aku takut sendiri lagi

 

Kau yang warnai aku

Bukakan pintu cakrawala

Kau yang buka mata dan hatiku

Yah … kau…

 

Entahlah … tapi aku heran

Heran kenapa aku begitu sayang

Heran… kenapa aku begitu rindu

Padamu…

 

Awalnya bukan apa – apa

Kau hanya teman

Lalu kita menjadi dekat

Semakin dekat

 

Kini aku merasa lengkap

Lengkap dalam semua kekuranganku …

Lengkap dalam semua kebodohanku…

 

 

Kuharap kita akan bersama

Selalu bersama

Kuharap apa yang baru saja ku baca

Bukan yang terakhir

 

Tetaplah di sini

Bersamaku…

Karena aku…

membutuhkanmu

Saat semua insan

Terlelap dalam mimpi

Aku masih duduk sendiri

Terhanyut dalam lamunan

Hanya lilin kecil yang menemani

Yang diam membisu tanpa suara

 

Angin seakan menyapa

Rembulan seakan tersenyum

Melihat diriku yang terhanyut

Dalam lamunan

 

Dalam hati timbul berjuta Tanya

Mengapa keadikan bagiku

Tak kunjung datang?

Ya Tuhan …..

Salahkah diriku

Mengharap seorang sahabat

Yang tulus menyayangi

Dan tak pernah meninggalkanku….

 

Beribu tetesan air mata telah jatuh membasahi wajah….

Itu karena ulahmu

Berjuta hariku jadi kelam ….

Karena dirimu

Kau yang telah membuat

Kehidupanku  tak berarti

Membuat semangatku pupus

Karena kepergianmu….

 

Mungkin….akulah orang terbodoh di jagat raya ini

Aku yang tak pernah bisa mambenci

Orang yang telah membuat hidupku tak berarti

 

Mengapa????

Kau rela meninggalkanku

Ditengah kegundahan hatiku yang terjebak dalam ketidakpastian????